Episode 1: PILKADAL DALIL LUPA-LUPA
Saat masih kecil, nasehat yang paling sering kita dengar sebelum makan barangkali “jangan lupa berdoa dulu”. Kedengarannya sepele, tetapi jika tidak dibiasakan akan terbawa hingga dewasa. Ketika beraktifitas, jangan lupa ingat kepada Allah. Fenomena “lupa berdoa dulu” kadang dilakukan oleh banyak manusia dewasa. Seperti juga yang terjadi saat ini pada proses pilkada.
Pada Pilkada, hampir semua pihak “merasa perlu” ambil bagian dan ikut dalam gegap gempita kemeriahan pilkada. Bahkan yang selama ini nganggur pun tiba-tiba bisa dapat job dan menjadi politisi dadakan. Pokoknya semua hal telah dibicarakan untuk kesuksesan pilkada dan hampir semua pihak terlibat.
Namun ada beberapa hal kecil yang mungkin belum muncul dipikiran pihak-pihak tersebut atau mungkin juga karena lupa. Yaitu, berdoa, ingat Allah, atau lebih spesifiknya ingat dalil-dalil sebelum jatuh terjun terlibat pilkada.
Lupa dalil jenis ke-1, Mengenai cara memperoleh jabatan kepala daerah, mayoritas muslim tentu sudah pernah mendengar hadit mengenai larangan meminta jabatan public misalnya kepala daerah. Larangan tersebut ber qarinah pasti yaitu haram.
Rasulullah pernah menasihatkan kepada Abdurrahman bin Samurah:
“Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau meminta kepemimpinan. Karena jika engkau diberi tanpa memintanya niscaya engkau akan ditolong (oleh Allah l dengan diberi taufik kepada kebenaran). Namun jika diserahkan kepadamu karena permintaanmu niscaya akan dibebankan kepadamu (tidak akan ditolong).”
Hadits ini diriwayatkan al-Imam al-Bukhari t dalam Shahih-nya no. 7146 dengan judul “Siapa yang Tidak Meminta Jabatan, Allah Akan Menolongnya dalam Menjalankan Tugasnya” dan no. 7147 dengan judul “Siapa yang Meminta Jabatan Akan Diserahkan Kepadanya (Dengan Tidak Mendapat Pertolongan dari Allah l dalam Menunaikan Tugasnya).”
Hadis riwayat Abu Musa ra., ia berkata:
Aku menemui Nabi saw. bersama dua orang lelaki anak pamanku. Seorang dari keduanya berkata: Wahai Rasulullah, angkatlah kami sebagai pemimpin atas sebagian wilayah kekuasaanmu yang telah diberikan Allah azza wa jalla! Yang satu lagi juga berkata seperti itu. Lalu Rasulullah saw. bersabda: Demi Allah, kami tidak akan mengangkat seorang pun yang meminta sebagai pemimpin atas tugas ini dan tidak juga seorang yang berambisi memperolehnya. (Shahih Muslim No.3402)
Mungkin ada yang berkata, kalau tidak diminta, bagaimana jabatan bisa terisi? Dalam Islam, jabatan kepala daera dalam khazanah intelektual Islam adalah jabatan wali dan amil . Jabatan Wali dan amil dalam system Islam tidak melibatkan proses persaingan terbuka sebab Wali tidak dipilih oleh rakyat melainkan diangkat oleh kepala Negara.
Rasulullah SAW telah mencontohkan, beliau mengangkat ‘Atab bin Usaid menjadi wali di kota Makkah setelah difutuhat dan Badzan bin Sasan setelah dia memeluk Islam menjadi wali di Yaman, mengangkat Mu’adz bin Jabal al-Khazraji menjadi wali di Janad, mengangkat Khalid bin Sa’id bin Al ‘Ash menjadi Wali di Sanaa, Ziyad bin Labid bin Tsa’labah al-Anshari menjadi Wali di Hadhramaut, mengangkat Abu Musa al-Asy’ariy menjadi Wali di Zabid dan ‘Adn, ‘Amru bin Al-‘Ash menjadi Wali di Oman, Muhajir bin Abi Umayyah menjadi Wali di Sanaa, ‘Adi bin Hatim menjadi wali Thuyyia, al-’Alla bin al-Hadhramiy menjadi Wali di Bahrain dan Abu Dujanah sebagai Wali Rasul saw di Madinah .
Mungkin akan ada yang berkomentar, lha kalau kepala daerah ditunjuk oleh kepala Negara, bisa jadi Indonesia menjadi Negara diktator seperti rezim ORBA. Logika ini bisa kita pahami sebagai logika khas penganut demokrasi. Apa sebab?
Pertama, demokrasi memang sebuah sistem yang dibangun dari ketidak percayaan (distrust). Secara umum penganut demokrasi wajib berburuk sangka kepada yang lain. Ini bisa dirasakan oleh para tim sukses saat ini. Oleh sebab itu mekanisme penunjukan gubernur dengan wilayah kekuasaan tertentu sangat ditentang dalam demokrasi. Karena hukum asal seseorang tidak boleh dipercaya. Kepala Negara pun walau awalnya rakyat yang milih namun dia wajib dicurigai ketika mengangkat gubernur karena prinsip dasar memang wajib su’u zhon. Prinsip ini lah yang membuat kaum muslimin yang sekarang sedang menerapkan demokrasi sulit menerima konsep-konsep Islam seperti penunjukan wali oleh kepala Negara atau pun konsep yang lainnya
Kedua, inti dari politik maachiaveli adalah suksesi (pemilu, pilkada, dsb) dan inti dari suksesi adalah persaingan (competition). Bahkan sampai popler istilah homo homini lupus untuk menggambarkan bagaimana persaingan dalam politik sekuler begitu dahsyat. Fakta yang kita temukan di lapangan pun demikian. Persaingan pilkada misalnya bisa mengorbankan apa saja termasuk silaturrahim, keluarga, guru dan murid semuanya bisa hilang jika musim suksesi telah tiba. Jadi masyarakat terprovokasi untuk terlibat kompetisi ketika disebut kata politik karena menurut masyarakat sekarang politik adalah kompetisi dan tidak bisa penunjukan, semahal apapun dan se rawan-konflik apapun prosesnya.
Ketiga, dalam politik demokrasi berlaku kaidah pragmatisme. Sehingga seseorang tidak mungkin dipercaya perkataannya dalam satu waktu. Karena jika kondisi berbeda dia kan berkata lain. Itulah pragmatism. Lain yang dijanjikan, lain yang diimplementasikan. Dalam demokrasi politik wajib pragmatis, jika tidak pragmatis, tidak demokratis. Sehingga saling tidak percaya semakin tumbuh subur dalam demokrasi. Prinsip ini lah yang memperkuat mental distrust dalam sistem ini. Di NTB bahkan ada calon yang pada pilkada yang lalu berbicara sebagai jurkam salah satu calon yang sekarang juga mencalonkan diri lagi. tentu yang dia bicarakan pada pilkada lalu berbeda 180 derajat dengan sekarang. (ngaku aja deh ). Itu lah pragmatisme.
Keempat, aturan yang diterapkan di dalam sistem demokrasi adalah aturan absurd. Karena berasal dari akal manusia yang terbatas dan berasal dari kompromi kepentingan pihak-pihak yang bersaing. Maka ketundukan pihak kepada aturan tidak berasal dari akidah, melainkan hanya lahiriyahnya saja. Sehingga distrust (saling tidak percaya) menjadi pilihan tepat dan ampuh dalam “saling menjaga” dalam sistem ini.
Lupa jenis ke-2, Mengenai konten jabatan berupa amanah, para tokoh berlomba meminta amanah agar dia yang mengemban.
Padahal, mengenai amanah. Rasulullah bersabda:
Jabatan (kedudukan) pada permulaannya penyesalan, pada pertengahannya kesengsaraan (kekesalan hati) dan pada akhirnya azab pada hari kiamat. (HR. Ath-Thabrani)
Amanah, apalagi dalam maslah kepemimpinan adalah perkara yang sangat berat. Sehingga sangat wajar jika seharusnya jabatan itu dijauhi, bukan diperebutkan seperti pada salah satu hadits:
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Sesungguhnya engkau sekalian akan rakus terhadap kekuasaan padahal ia akan menjadi penyesalan di hari kiamat. Maka alangkah baiknya penyusu (penguasa di dunia) dan alangkah jeleknya pemutus susu (kematian)." Riwayat Bukhari.
Lupa jenis ke-3, Mengenai persaingan untuk jabatan, Mungkin para tim sukses akan segera berkata, kami meminta amanah kepala daerah karena calon kami lah yang paling baik blablabla. Calon lain banyak kurangnya. Pokoknya lebih rendah lah dibandingkan dengan calon kami. Padahal menganggap rendah orang lain adalah termasuh kategori sombong. Apalagi dalam hal kepemimpinan yang Rasulullah sudah mewanti wanti untuk tidak bersaing di dalamnya. Ada banyak hadits mengenai sombong, diantaranya:
Dari Abdullah bin Mas'ud dari Nabi Saw. bersabda: "Tidak masuk surga orang yang dalam hatinya ada sedikit kesombongan." Ada sahabat yang bertanya:"Seseorang pasti ingin baju dan sandalnya bagus", Nabi menjawab,"Allah itu Maha Indah dan suka keindahan, (yang dimaksud) sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang." (HR.Muslim)
Lupa jenis ke-4, Mengenai untuk apa kepala daerah diangkat, Hampir semua tahu bahwa kepala daerah wali atau gubernur dalam Islam diangkat untuk menerapkan hukum Islam yang diambil dari Al-Qurán dan Assunnah dengan proses istinbath yang shahih. Bukan untuk menerapkan demokrasi. Di dalam kitab Daulah Islam disebutkan:
“Diriwayatkan dari beliau SAW pernah bertanya kepada Mu’adz bin Jabal al-Khazraji saat mengutusnya ke Yaman, “Dengan apa engkau akan menjalankan pemerintahan?” Dia menjawab, “Dengan Kitab Allah.” Beliau bertanya lagi, “Jika engkau tidak menemukannya?” Dia menjawab, “Dengan Sunah Rasulullah.” Beliau bertanya lagi, “Jika engkau tidak menemukannya?” Dia menjawab, “Saya akan berijtihad dengan pikiran saya.” Selanjutnya beliau berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan pemahaman kepada utusan Rasulullah terhadap yang Allah dan Rasul-Nya cintai”.
Ijtihad yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah ijtihad syar’i. Yaitu Ijtihad menurut istilah para pakar ilmu ushul diperuntukkan bagi pengerahan segala usaha dalam memperoleh suatu hukum atau beberapa hukum syara’ yang bersifat dzanni sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya hingga ia merasa lemah (tidak sanggup lagi) mencapai hal yang lebih di dalam usahanya.
Ini lah inti persoalan mendesak masyarakat muslim. Yang disaksikan sekarang bukan syariah Islam yang diterapkan di daerah, even yang memimpin sebuah daerah adalah seorang ulama top. Mengapa bukan syariáh islam yang diterapkan? sepertinya seperti yang telah disampaikan bahwa mental ditrust dari penganut demokrasi sudah sangat kronis. Ternyata pelaku demokrasi bukan saja tidak percaya dan curiga kepada sesama manusia, bahkan sampai Tuhan pun tidak dipercaya dan dicurigai. Kita bisa lihat berapa banyak kaum muslimin yang mengatakan syariah kuno, tidak modern dan lain sebagainya. Ini khan bentuk buruk sangka dan distrust yang ditujukan kepada Islam dan kepada Rab pemilik agama sempurna tersebut?
Alhasil, pilkada memang punya dasar/payung hukum yaitu berupa UU nomor 32 tahun 2005 tentang pemerintah daerah dan seterusnya. Namun dalam sumber hukum Islam (hukum Allah) justru prakteknya bertentangan dengan banyak dalil. Kita jadi bertanya, saat pilkada ini apakah para calon masih “berdoa” kepada Allah atau kepada Parlemen dan Depdagri?. Wallahu a’lam.
Oleh : Salman Faris
Saat masih kecil, nasehat yang paling sering kita dengar sebelum makan barangkali “jangan lupa berdoa dulu”. Kedengarannya sepele, tetapi jika tidak dibiasakan akan terbawa hingga dewasa. Ketika beraktifitas, jangan lupa ingat kepada Allah. Fenomena “lupa berdoa dulu” kadang dilakukan oleh banyak manusia dewasa. Seperti juga yang terjadi saat ini pada proses pilkada.
Pada Pilkada, hampir semua pihak “merasa perlu” ambil bagian dan ikut dalam gegap gempita kemeriahan pilkada. Bahkan yang selama ini nganggur pun tiba-tiba bisa dapat job dan menjadi politisi dadakan. Pokoknya semua hal telah dibicarakan untuk kesuksesan pilkada dan hampir semua pihak terlibat.
Namun ada beberapa hal kecil yang mungkin belum muncul dipikiran pihak-pihak tersebut atau mungkin juga karena lupa. Yaitu, berdoa, ingat Allah, atau lebih spesifiknya ingat dalil-dalil sebelum jatuh terjun terlibat pilkada.
Lupa dalil jenis ke-1, Mengenai cara memperoleh jabatan kepala daerah, mayoritas muslim tentu sudah pernah mendengar hadit mengenai larangan meminta jabatan public misalnya kepala daerah. Larangan tersebut ber qarinah pasti yaitu haram.
Rasulullah pernah menasihatkan kepada Abdurrahman bin Samurah:
“Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau meminta kepemimpinan. Karena jika engkau diberi tanpa memintanya niscaya engkau akan ditolong (oleh Allah l dengan diberi taufik kepada kebenaran). Namun jika diserahkan kepadamu karena permintaanmu niscaya akan dibebankan kepadamu (tidak akan ditolong).”
Hadits ini diriwayatkan al-Imam al-Bukhari t dalam Shahih-nya no. 7146 dengan judul “Siapa yang Tidak Meminta Jabatan, Allah Akan Menolongnya dalam Menjalankan Tugasnya” dan no. 7147 dengan judul “Siapa yang Meminta Jabatan Akan Diserahkan Kepadanya (Dengan Tidak Mendapat Pertolongan dari Allah l dalam Menunaikan Tugasnya).”
Hadis riwayat Abu Musa ra., ia berkata:
Aku menemui Nabi saw. bersama dua orang lelaki anak pamanku. Seorang dari keduanya berkata: Wahai Rasulullah, angkatlah kami sebagai pemimpin atas sebagian wilayah kekuasaanmu yang telah diberikan Allah azza wa jalla! Yang satu lagi juga berkata seperti itu. Lalu Rasulullah saw. bersabda: Demi Allah, kami tidak akan mengangkat seorang pun yang meminta sebagai pemimpin atas tugas ini dan tidak juga seorang yang berambisi memperolehnya. (Shahih Muslim No.3402)
Mungkin ada yang berkata, kalau tidak diminta, bagaimana jabatan bisa terisi? Dalam Islam, jabatan kepala daera dalam khazanah intelektual Islam adalah jabatan wali dan amil . Jabatan Wali dan amil dalam system Islam tidak melibatkan proses persaingan terbuka sebab Wali tidak dipilih oleh rakyat melainkan diangkat oleh kepala Negara.
Rasulullah SAW telah mencontohkan, beliau mengangkat ‘Atab bin Usaid menjadi wali di kota Makkah setelah difutuhat dan Badzan bin Sasan setelah dia memeluk Islam menjadi wali di Yaman, mengangkat Mu’adz bin Jabal al-Khazraji menjadi wali di Janad, mengangkat Khalid bin Sa’id bin Al ‘Ash menjadi Wali di Sanaa, Ziyad bin Labid bin Tsa’labah al-Anshari menjadi Wali di Hadhramaut, mengangkat Abu Musa al-Asy’ariy menjadi Wali di Zabid dan ‘Adn, ‘Amru bin Al-‘Ash menjadi Wali di Oman, Muhajir bin Abi Umayyah menjadi Wali di Sanaa, ‘Adi bin Hatim menjadi wali Thuyyia, al-’Alla bin al-Hadhramiy menjadi Wali di Bahrain dan Abu Dujanah sebagai Wali Rasul saw di Madinah .
Mungkin akan ada yang berkomentar, lha kalau kepala daerah ditunjuk oleh kepala Negara, bisa jadi Indonesia menjadi Negara diktator seperti rezim ORBA. Logika ini bisa kita pahami sebagai logika khas penganut demokrasi. Apa sebab?
Pertama, demokrasi memang sebuah sistem yang dibangun dari ketidak percayaan (distrust). Secara umum penganut demokrasi wajib berburuk sangka kepada yang lain. Ini bisa dirasakan oleh para tim sukses saat ini. Oleh sebab itu mekanisme penunjukan gubernur dengan wilayah kekuasaan tertentu sangat ditentang dalam demokrasi. Karena hukum asal seseorang tidak boleh dipercaya. Kepala Negara pun walau awalnya rakyat yang milih namun dia wajib dicurigai ketika mengangkat gubernur karena prinsip dasar memang wajib su’u zhon. Prinsip ini lah yang membuat kaum muslimin yang sekarang sedang menerapkan demokrasi sulit menerima konsep-konsep Islam seperti penunjukan wali oleh kepala Negara atau pun konsep yang lainnya
Kedua, inti dari politik maachiaveli adalah suksesi (pemilu, pilkada, dsb) dan inti dari suksesi adalah persaingan (competition). Bahkan sampai popler istilah homo homini lupus untuk menggambarkan bagaimana persaingan dalam politik sekuler begitu dahsyat. Fakta yang kita temukan di lapangan pun demikian. Persaingan pilkada misalnya bisa mengorbankan apa saja termasuk silaturrahim, keluarga, guru dan murid semuanya bisa hilang jika musim suksesi telah tiba. Jadi masyarakat terprovokasi untuk terlibat kompetisi ketika disebut kata politik karena menurut masyarakat sekarang politik adalah kompetisi dan tidak bisa penunjukan, semahal apapun dan se rawan-konflik apapun prosesnya.
Ketiga, dalam politik demokrasi berlaku kaidah pragmatisme. Sehingga seseorang tidak mungkin dipercaya perkataannya dalam satu waktu. Karena jika kondisi berbeda dia kan berkata lain. Itulah pragmatism. Lain yang dijanjikan, lain yang diimplementasikan. Dalam demokrasi politik wajib pragmatis, jika tidak pragmatis, tidak demokratis. Sehingga saling tidak percaya semakin tumbuh subur dalam demokrasi. Prinsip ini lah yang memperkuat mental distrust dalam sistem ini. Di NTB bahkan ada calon yang pada pilkada yang lalu berbicara sebagai jurkam salah satu calon yang sekarang juga mencalonkan diri lagi. tentu yang dia bicarakan pada pilkada lalu berbeda 180 derajat dengan sekarang. (ngaku aja deh ). Itu lah pragmatisme.
Keempat, aturan yang diterapkan di dalam sistem demokrasi adalah aturan absurd. Karena berasal dari akal manusia yang terbatas dan berasal dari kompromi kepentingan pihak-pihak yang bersaing. Maka ketundukan pihak kepada aturan tidak berasal dari akidah, melainkan hanya lahiriyahnya saja. Sehingga distrust (saling tidak percaya) menjadi pilihan tepat dan ampuh dalam “saling menjaga” dalam sistem ini.
Lupa jenis ke-2, Mengenai konten jabatan berupa amanah, para tokoh berlomba meminta amanah agar dia yang mengemban.
Padahal, mengenai amanah. Rasulullah bersabda:
Jabatan (kedudukan) pada permulaannya penyesalan, pada pertengahannya kesengsaraan (kekesalan hati) dan pada akhirnya azab pada hari kiamat. (HR. Ath-Thabrani)
Amanah, apalagi dalam maslah kepemimpinan adalah perkara yang sangat berat. Sehingga sangat wajar jika seharusnya jabatan itu dijauhi, bukan diperebutkan seperti pada salah satu hadits:
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Sesungguhnya engkau sekalian akan rakus terhadap kekuasaan padahal ia akan menjadi penyesalan di hari kiamat. Maka alangkah baiknya penyusu (penguasa di dunia) dan alangkah jeleknya pemutus susu (kematian)." Riwayat Bukhari.
Lupa jenis ke-3, Mengenai persaingan untuk jabatan, Mungkin para tim sukses akan segera berkata, kami meminta amanah kepala daerah karena calon kami lah yang paling baik blablabla. Calon lain banyak kurangnya. Pokoknya lebih rendah lah dibandingkan dengan calon kami. Padahal menganggap rendah orang lain adalah termasuh kategori sombong. Apalagi dalam hal kepemimpinan yang Rasulullah sudah mewanti wanti untuk tidak bersaing di dalamnya. Ada banyak hadits mengenai sombong, diantaranya:
Dari Abdullah bin Mas'ud dari Nabi Saw. bersabda: "Tidak masuk surga orang yang dalam hatinya ada sedikit kesombongan." Ada sahabat yang bertanya:"Seseorang pasti ingin baju dan sandalnya bagus", Nabi menjawab,"Allah itu Maha Indah dan suka keindahan, (yang dimaksud) sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang." (HR.Muslim)
Lupa jenis ke-4, Mengenai untuk apa kepala daerah diangkat, Hampir semua tahu bahwa kepala daerah wali atau gubernur dalam Islam diangkat untuk menerapkan hukum Islam yang diambil dari Al-Qurán dan Assunnah dengan proses istinbath yang shahih. Bukan untuk menerapkan demokrasi. Di dalam kitab Daulah Islam disebutkan:
“Diriwayatkan dari beliau SAW pernah bertanya kepada Mu’adz bin Jabal al-Khazraji saat mengutusnya ke Yaman, “Dengan apa engkau akan menjalankan pemerintahan?” Dia menjawab, “Dengan Kitab Allah.” Beliau bertanya lagi, “Jika engkau tidak menemukannya?” Dia menjawab, “Dengan Sunah Rasulullah.” Beliau bertanya lagi, “Jika engkau tidak menemukannya?” Dia menjawab, “Saya akan berijtihad dengan pikiran saya.” Selanjutnya beliau berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan pemahaman kepada utusan Rasulullah terhadap yang Allah dan Rasul-Nya cintai”.
Ijtihad yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah ijtihad syar’i. Yaitu Ijtihad menurut istilah para pakar ilmu ushul diperuntukkan bagi pengerahan segala usaha dalam memperoleh suatu hukum atau beberapa hukum syara’ yang bersifat dzanni sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya hingga ia merasa lemah (tidak sanggup lagi) mencapai hal yang lebih di dalam usahanya.
Ini lah inti persoalan mendesak masyarakat muslim. Yang disaksikan sekarang bukan syariah Islam yang diterapkan di daerah, even yang memimpin sebuah daerah adalah seorang ulama top. Mengapa bukan syariáh islam yang diterapkan? sepertinya seperti yang telah disampaikan bahwa mental ditrust dari penganut demokrasi sudah sangat kronis. Ternyata pelaku demokrasi bukan saja tidak percaya dan curiga kepada sesama manusia, bahkan sampai Tuhan pun tidak dipercaya dan dicurigai. Kita bisa lihat berapa banyak kaum muslimin yang mengatakan syariah kuno, tidak modern dan lain sebagainya. Ini khan bentuk buruk sangka dan distrust yang ditujukan kepada Islam dan kepada Rab pemilik agama sempurna tersebut?
Alhasil, pilkada memang punya dasar/payung hukum yaitu berupa UU nomor 32 tahun 2005 tentang pemerintah daerah dan seterusnya. Namun dalam sumber hukum Islam (hukum Allah) justru prakteknya bertentangan dengan banyak dalil. Kita jadi bertanya, saat pilkada ini apakah para calon masih “berdoa” kepada Allah atau kepada Parlemen dan Depdagri?. Wallahu a’lam.
Oleh : Salman Faris
#StopDebatKusir;
#SalamDemokrasiMati
Bersambung ke serial Pilkada NTB episode II: PILKADA NTB DAN TATA SURYA POLITIK GLOBAL
Bersambung ke serial Pilkada NTB episode II: PILKADA NTB DAN TATA SURYA POLITIK GLOBAL
Tidak ada komentar:
Posting Komentar