“Ayo dik, naik aja, ikut saya sekalian,” kata
seorang bapak dalam Karimun kepada seorang wanita muda berkerudung yang
sedang menunggu angkutan umum. “Bisa ikut, Pak?” tanyanya ragu. “Iya
naik aja,” jawab si pengemudi. Tak lama kemudian perempuan muda
berkerudung itu pun naik dan duduk di samping pengemudi.
Pemandangan itu saya terjadi di depan mata saya.
Kedua orang tadi keluar dari kantor sebuah lembaga Islam. Saya terkejut
tapi juga menjadi tidak heran. Terkejut karena keduanya saya duga paham
syariat Islam, tapi juga tidak heran karena hal seperti itu sudah
dianggap biasa.
Saat ini, persoalan ijtima’iy, relasi pria-wanita
banyak yang sudah tidak lazim tapi menjadi kebiasaan. Sering pria dan
wanita yang bukan mahram berjalan berdua; baik berjalan kaki beriringan,
naik motor berboncengan atau naik mobil berdua dalam mobil pribadi.
Pernah saya mengomentari seorang rekan kerja yang
acap makan siang bersama wanita rekan kerjanya yang bukan mahram, tapi
dia berkilah, “Ah kita kan gak ada perasaan apa-apa!” Yup, itu jadi
salah satu alasan ampuh buat sebagian orang untuk tetap jalan berdua
dengan perempuan non-mahram.
Bila pelakunya orang awam barangkali masih ada
‘pemakluman’ meski juga tetap salah, tapi ini pelakunya sebagian adalah
orang-orang yang aktif dalam lembaga keislaman. Malah sebagian orang
yang terlibat dalam aktifitas dakwah. Alasannya ya kelaziman di
masyarakat juga seperti kata kawan saya tadi ‘tidak ada perasaan
apa-apa’.
Kita semua sepakat bahwa tolak ukur perbuatan
mestilah hukum syara’, bukan kelaziman. Mengikuti kebiasaan malah
berbahaya. Allah SWT. sudah lama mengingatkan hal ini dalam firmanNya:
“Apabila
dikatakan kepada mereka: “Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah
dan mengikuti Rasul”. mereka menjawab: “Cukuplah untuk Kami apa yang
Kami dapati bapak-bapak Kami mengerjakannya”. dan Apakah mereka itu akan
mengikuti nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak
mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?”(QS. al-Maidah: 104).
Maka
seorang kenalan saya pun dicap ‘udik’, aneh dan tidak berjiwa sosial
karena ogah membonceng pegawai wanita di kantornya, sedangkan
rekan-rekan pria yang lainnya dengan sukarela mau saja membonceng
teman-teman kerja wanitanya. “Kalau ibu mau naik motor, silakan pakai
saja motor saya tapi saya nggak mau membonceng ibu,” kata kawan saya
saat dikomplain oleh teman-teman kerjanya yang wanita.
Soal bonceng membonceng inilah yang sekarang menjadi trending topic
di masyarakat kita, tepatnya soal duduk mengangkang bagi kaum Hawa.
Saya pribadi melihat duduk mengangkang bukan topik utama dalam relasi
pria dan wanita. Tapi yang harus dibenahi memang sistem sekuler yang
sudah jadi panglima di segala lini, termasuk dalam sistem sosial. Banyak
persoalan timbul dari larangan tersebut, misalnya bila si perempuan
duduk menyamping tapi yang memboncengnya lelaki bukan mahrom apakah
menjadi boleh? Atau bila perempuan yang duduk menyamping tapi memakai
pakaian ketat juga tidak dilarang? Bagaimana pula aturan bagi pria dan
wanita yang berduaan dalam kendaraan pribadi padahal bukan mahram
seperti cerita saya di awal tulisan ini?
Spirit memuliakan
dan menjaga kaum wanita di negeri ini memang mulai tumbuh dalam koridor
syariat Islam. Akan tetapi bila itu sekedar tambal sulam justru
menimbulkan persoalan-persoalan baru. Seperti larangan perempuan keluar
malam di beberapa daerah menjadi masalah bila masyarakat tidak mendapat
jaminan sosial yang layak untuk hidup. Apalagi bila wanita masih menjadi
tulang punggung keluarga di jaman kapitalisme seperti sekarang. Karena
kenyataannya banyak wanita menjadi buruh di pabrik, spg di mall yang
mengharuskan mereka kerja malam hari. Maka larangan yang memang
bertujuan baik itu menjadi blunder bagi masyarakat dan pembuat keputusan
itu sendiri.
Kita hidup dalam lingkaran setan, vicious circle, yang harus
dipatahkan dari akarnya. Urusan memuliakan wanita tidak bisa sekedar
mencangkokkan sejumput aturan Islam ke dalam sistem sekuler-kapitalis.
Tapi harus dilakukan revolusi pemikiran dan tatanan sosial yang
paripurna. Tanpa itu, spirit menjaga relasi pria dan wanita menjadi
kontroversi yang berkepanjangan. Apalagi sekarang banyak perbuatan tidak
lazim yang menjadi kebiasaan. Dan banyak orang mencari pembenaran
dengan dalih kebiasaan karena itu lebih aman bagi mereka. Masya Allah!Sudah saatnya kita memeluk dan mengaplikasikan Islam secara kaffah, barulah terbebas dari dalih kebiasaan.
“Wahai orang-orang beriman masuklah Islam secara kaffah!”(QS. al-Baqarah: 208)
(Oleh : Ust. Iwan Januar)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar