Belakangan
ini masyarakat gandrung dengan pelatihan motivasi diri. Beragam tag
dimunculkan pada training itu, di antaranya ada yang memompa motivasi
dan potensi diri untuk karir dan penghasilan. Iming-iming kesuksesan dan
keberlimpahan penghasilan ditawarkan oleh para trainer. Mulai untuk
karyawan sampai mendorong karyawan agar melepaskan status karyawannya
dan menjadi entrepreuneur.
Sebagian
traning itu juga diadakan dengan latar belakang keislaman. Meski nyaris
berujung pada hal yang sama; keberlimpahan penghasilan. Bahagia dan
barakah akhirnya diidentikkan dengan hidup yang nyaman. Hidup yang
nyaman itu adalah mapan, sehat dan disukai banyak orang.
Tidak
ada yang salah menjadi orang kaya dan sukses. Allah SWT. pun
mengizinkan umat manusia dan kaum muslimin untuk meraih bagian di dunia.
FirmanNya:
“Dan
carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan)
negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari
(keni`matan) duniawi.”(QS. Al-Qashash: 77).
Sejarah
mencatat betapa kayanya seorang Abdurrahman bin Auf ra. yang bisa
menginfakkan 700 ekor untanya yang penuh berisi muatan perdagangan. Lalu
menginfakkan harta sebanyak 40 ribu dirham (1 dirham = 2,975 g perak)
dan 40 ribu dinar (1 dinar = 4,25 g emas). Pembaca bisa menghitung
berapa besar harta yang dicurahkan Ibnu Auf di jalan Allah, dan berapa
banyak harta yang ia miliki.
Tetapi
bukankah kita, kaum muslimin telah memiliki makna tersendiri tentang
kebahagiaan dan keberhasilan hidup? Kebahagiaan menurut Islam adalah
manakala seorang muslim bisa mempersembahkan amal solehnya untuk menuai
ridlo Allah SWT. Bukan keberlimpahan harta. Barakah diukur dengan
kebaikan yang terus bertambah (ziyadatul khair), bukan bertambahnya
pundi-pundi emas seseorang, membengkaknya nilai saldo seseorang,
bertambah megah rumah yang ia miliki, dan makin terpandangnya seseorang
di hadapan banyak orang.
Ini
adalah pakem yang klasik dan elementer dalam keislaman kita. Rasanya
sudah ditulis jutaan kali, dikumandangkan jutaan kali pula dalam khutbah
dan aneka taushiyah bahwa dunia bukanlah tujuan hidup. Bahwa rizki di
tangan Allah, dan jangan memandang ke atas dalam urusan dunia. Dan
bukankah sering kita baca bahwa Nabi kita, Muhammad saw. bukanlah orang
yang hidupnya berlimpah harta.
Hanya saja manusia memang tabiat dasar manusia senang dengan hidup yang nyaman dan mapan. Itu adalah fitrah.
“Dijadikan
indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini,
yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas,
perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah
kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik
(surga).”(QS. Ali Imran: 14).
Tapi
fitrah itu harus ditundukkan pada tujuan hidup sebagai muslim. Bila
tidak kita jatuh pada orientasi hidup yang salah. Bahwa dunia harus
dikejar agar hidup bahagia. Dan orang yang tidak ngoyo mengejar dunia
dianggap menyia-nyiakan potensi diri, kurang motivasi hidup, dan
pemalas.
Tapi
memang dunia penuh perangkap, dan perangkap itu nikmat serta sering
berbalut agama. Padahal ujungnya adalah perangkap dunia. Orang
dianjurkan sedekah dengan imingan hartanya akan jauh berlimpah ketimpang
apa yang ia sedekahkan. Padahal ketika Abdurrahman bin Auf
menyedekahkan 700 untanya yang lengkap berisi barang dagangan adalah
karena takut masuk surga dengan cara merangkak, sementara ia amat
berharap dapat berlari ke sana.
Ada
pula yang beralasan bahwa motivasi hidup sukses dan bergelimang harta
itu demi alasan dakwah. Bukankah bila para dai menjadi kaya maka bisa
membantu dakwah? Bukan jamannya juru dakwah itu hidup sederhana apalagi
sengsara. Mungkin begitu pikir mereka.
Semoga
kita tidak lupa bahwa sebagian besar as-Sabiqun al-Awwalun agama ini
adalah kaum dluafa. Dari barisan para dluafa ini justru Islam menuai
kemenangan. Ada Abdullah bin Mas’ud ra. yang kurus kering tapi lantang
menyuarakan ayat-ayat al-Quran di depan Ka’bah, di hadapan
pembesar-pembesar Quraisy, ada Abu Dzar al-Ghiffari ra., ada Ali bin Abi
Thalib, Amr bin Yassir, dll.
Bahkan
ada sahabat yang semula priyayi, hidup mapan, dicintai banyak orang,
justru melepaskan kemapanan hidupnya dan rela hidup menjadi
mustadl’afin. Sebutlah Mush’ab bin Umair ra. dan Sa’ad bin Abi Waqqash
ra. Saat Mush’ab syahid dalam perang Badar, kafannya hanyalah selembar
kain uang yang bila ditarik ke kepalanya maka kakinya terlihat, dan bila
ditarik ke kakinya maka kepalanya tampak. Sampai-sampai air mata
Rasulullah saw. menitik bila mengingat keadaan Mush’ab sebelum masuk
Islam, sebagai anak muda yang trendy, wangi, dan disukai gadis-gadis
Mekkah.
Bukan
kemapanan hidup yang menghasilkan kemenangan. Tapi keistiqamahan selama
hayat dikandung badan, meski hidup sederhana ataupun menderita. Seorang
pengemban dakwah wajib meyakini 100 persen bahwa ketulusan dan
kedekatan seseorang pada Allah yang membuka pintu kemenangan, bukan
keberlimpahan harta. Tertoreh dalam sejarah bahwa Pendeta Sophronius
menyerahkan kunci gerbang Yerusalem kepada Amirul Mukminin Umar bin
Khaththab ra. yang saat itu datang dengan pakaian kekhilafahannya yang
dipenuhi 14 tambalan. Tapi Sophronius justru percaya bahwa itulah ‘the
choosen one’, orang yang dijanjikan Injil dan Talmud akan memakmurkan
dan menjaga Yerusalem.
Maka
Abdurrahman bin Auf meneteskan air mata dan meninggalkan hidangannya
yang lezat setiap kali mengingat syahidnya Mush’ab bin Umair. Ia amat
iri pada apa yang menimpa Mush’ab, dan ia khawatir bahwa keberlimpahan
hartanya adalah kebaikan yang dipercepat, dan tidak ada lagi untuknya
kelak di akhirat.
“Barangsiapa
yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itu
baginya dan barangsiapa yang menghendaki keuntungan di dunia Kami
berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya
suatu bahagianpun di akhirat.”(QS. Asy-SyĆ»ra: 20).
Saya
tutup kalam ini dengan hadits shahih dari Imam Bukhari-Muslim yang
meriwayatkan bahwa suatu ketika Umar bin Khaththab menemui Rasulullah
saw. Saat itu Rasulullah saw. tengah menyendiri di gudang rumahnya.
Tatkala Umar datang, ia mendapati Rasulullah saw. tengah berbaring di
atas tikar dan terlihat guratan tikar pada wajah dan tubuh beliau.
Sedangkan makanan beliau saat itu hanyalah segantang gandum dan qarazh
yang disimpan di sudut kamar. Melihat keadaan itu bercucuranlah air mata
Umar. Lalu Rasulullah saw. bertanya, “Kenapa engkau menangis, hai Ibnu
Khathtab?” Umar menjawab, “Ya, Nabiyallah! Aku menangis karena melihat
tikar ini membekas di rusuk Anda. Dan gudang ini tidak menyimpan
apa-apa. Padahal gudang kaisar Romawi dan kisra Persia berlimpah dengan
buah-buahan dan serba cukup adanya. Sedangkan engkau adalah Rasulullah
dan pilihanNya. Beginilah keadaan gudang simpanan engkau.”
“Hai,
Ibnu Khaththab! Tidak sukakah engkau, akhirat untuk kita dan dunia
untuk mereka?” tanya Rasulullah saw. Umar menjawab, “Aku suka, ya
Rasulullah!”.
Rasulullah dalam mengenangmu
Kami susuri lembaran sirahmu
Pahit getir perjuanganmu
Membawa cahaya kebenaran
Engkau taburkan pengorbananmu
Untuk umat mu yang tercinta
Biar terpaksa tempuh derita
Cekalnya hatimu menempuh ranjaunya
Tak terjangkau tinggi pekertimu
Tidak tergambar indahnya akhlak mu
Tidak terbalas segala jasa mu
Sesungguhnya engkau rasul mulia
Tabahnya hatimu menempuh dugaan
Mengajar erti kesabaran
Menjulang panji kemenangan
Terukir nama mu di dalam Al Quran
Rasulullah kami ummatmu
Walau tak pernah melihat wajah mu
Kami cuba mengingatimu
Dan kami cuba mengamalsunnah mu
Kami sambung perjuanganmu
Walau kami dicaci dihina
Tapi kami tak pernah kecewa
Allah dan rasul sebagai pembela
(Oleh : Ust, Iwan Januar)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar